In Thought

[REVIEW] Tentang Menjadi 'Manusia', O by Eka Kurniawan

sumber gambar: goodreads.com
"Cinta tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, meskipun cinta bisa memberimu hal itu," kata si pembaca tanda-tanda.


Sungguh saya ingin sekali mendiskusikan buku ini bersama siapapun. O merupakan salah satu novel terpadat (bukan tebal) yang pernah saya baca. Tidak ada narasi yang terasa sia-sia atau dialog yang tidak memiliki fungsi. O, Bukan hanya tentang seekor monyet yang ingin menikah dengan kaisar dangdut (seperti yang tertulis pada blurb).  Meskipun sama-sama sebuah alegori, O agak berbeda dari novel Eka terdahulu, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas yang penuh dengan stensilan, O terasa lebih sesak dengan kisah satire sejumlah tokoh yang terpilin menjadi satu kesatuan: Manusia. Bahwa manusia bisa lebih binatang dari binatang, seperti binatang yang bisa menjadi lebih manusiawi ketimbang manusia. Keduanya bisa jadi tidak memiliki perbedaan apapun, jiwanya bisa saja tertukar-tukar, walau bungkusnya berbeda. 


Menurut saya pribadi, O merupakan novel yang begitu penuh dengan cinta (walau tidak bermaksud menyebutnya sebagai novel romantis).


Cinta. Kau tak pernah mengerti cinta, maka kau tak mengerti arti tali yang mengikat satu makhluk ke makhluk lain.


Kegigihan O yang berjuang demi menjadi manusia lahir dari cinta (yang bertransformasi menjadi ketololan) pada Entang Kosasih. Cinta (atau ketololan) yang membuat Kiai Sobirin menjadi buta , meskipun katanya bukan cinta yang membuat buta, tapi keyakinan. Tetap ada saja yang rela mati demi cinta, seperti Manikmaya atau Sobar atau Betalumur atau tokoh-tokoh lainnya.

 Cinta dan ketololan sering kali hanya masalah bagaimana seorang melihatnya. (216)

Novel ini seperti mozaik besar yang dilengkapi dengan gesit melalui halaman demi halaman. Kebencian pada satu tokoh bisa perlahan-lahan disulap menjadi simpati yang dalam, tergantung pada sisi apa yang diperlihatkan. Persis seperti bagaimana informasi tambahan dapat mengubah persepsi kita terhadap orang lain. Dan (yang paling asyik menurut saya) beberapa tanda tanya dibiarkan begitu saja untuk ditafsirkan sendiri oleh pembaca. Karena pembaca adalah raja, dia bebas menafsirkan menurut kemauan dan kemampuannya. Sungguh karya sastra yang WAJIB untuk dibaca!


“Apakah ia memiliki cinta? Tidak. Ia tak pernah mencintai siapa pun. Tak ada burung pelatuk lain yang menarik perhatiannya. Ia burung tanpa cinta. Jika ada cinta, itu hanya cinta kepada pekerjaannya mematuki batang pohon. Tak lebih. Bagi makhluk lain, apa yang dilakukannya terlihat menyedihkan. Tapi siapa kita sehingga berhak menghakimi perasaan makhluk lain?”
Eka Kurniawan 

0 comments:

Post a Comment

What do you think?